Sunan Pandanaran
ZIARAH KE WILAYAH TIMUR
( Klaten Selatan )
• Makam Sunan Pandanaran
• Makam Syekh Dumbo
• Makam Syekh Kewel
• Masjid Golo ( Makam Sunan Pandanaran pertama kali )
• Makam Ki Ageng Gribig (Jatinom)
Biaya :
Rp. 700.000,-
Biaya per paket sudah termasuk :
• Mobil (12 Jam) Kapasitas 6 orang + 1 Pemimpin
• Driver, Bensin, Parkir
• Retribusi Masuk Lokasi
• Infaq pemandu di lokasi (juru kunci)
Sunan Pandanaran
Bayat
Sunan Bayat (nama
lain: Pangeran Mangkubumi, Susuhunan Tembayat, Sunan Pandanaran (II), Ki Ageng
Pandanaran, atau Wahyu Widayat) adalah tokoh penyebar agama Islam di Jawa yang
disebut-sebut dalam sejumlah babad serta cerita-cerita lisan. Tokoh ini terkait
dengan sejarah Kota Semarang dan penyebaran awal agama Islam di Jawa, meskipun
secara tradisional tidak termasuk sebagai Wali Sanga. Makamnya terletak di
perbukitan (”Gunung Jabalkat”) di wilayah Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah,
dan masih ramai diziarahi orang hingga sekarang. Dari sana pula konon ia
menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat wilayah Mataram. Tokoh ini dianggap
hidup pada masa Kesultanan Demak (abad ke-16).
Terdapat paling
tidak empat versi mengenai asal-usulnya, namun semua sepakat bahwa ia adalah
putra dari Ki Ageng Pandan Arang, bupati pertama Semarang. Sepeninggal Ki Ageng
Pandan Arang, putranya, Pangeran Mangkubumi, menggantikannya sebagai bupati
Semarang kedua. Alkisah, ia menjalankan pemerintahan dengan baik dan selalu
patuh dengan ajaran – ajaran Islam seperti halnya mendiang ayahnya. Namun
lama-kelamaan terjadilah perubahan. Ia yang dulunya sangat baik itu menjadi
semakin pudar. Tugas-tugas pemerintahan sering pula dilalaikan, begitu pula
mengenai perawatan pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah.
Sultan Demak
Bintara, yang mengetahui hal ini, lalu mengutus Sunan Kalijaga dari Kadilangu,
Demak, untuk menyadarkannya. Semula Ki Ageng Pandanaran adalah orang yang
selalu mendewakan harta keduniawian. Berkat bimbingan dan ajaran-ajaran Sunan
Kalijaga, Ki Ageng Pandanaran bisa disadarkan dari sifatnya yang buruk itu yang
akhirnya Ki Ageng Pandanaran berguru kepada Sunan Kalijaga dan menyamar sebagai
penjual rumput. Akhirnya, sang bupati menyadari kelalaiannya, dan memutuskan
untuk mengundurkan diri dari jabatan duniawi dan menyerahkan kekuasaan Semarang
kepada adiknya.
Sunan Kalijaga
menyarankan Ki Ageng Pandanaran untuk berpindah ke selatan, tanpa membawa
harta, didampingi isterinya, melalui daerah yang sekarang dinamakan Salatiga,
Boyolali, dan Wedi. Namun, diam-diam tanpa sepengetahuannya, sang istri membawa
tongkat bambu yang di dalamnya dipenuhi permata. Dalam perjalanan mereka
dihadang oleh kawanan perampok yang dipimpin oleh yang namanya sekarang disebut
Syekh Domba.
Maka terjadilah
perkelahian dan untung saja pasangan suami istri ini berhasil mengatasinya
akhirnya Allah SWT murka kemudian dia berubah menjadi sebuah mahluk dengan
perawakan manusia tetapi berkepala domba. Setelah terjadi demikian, akhirnya
dia menyadari dan menyesal dengan segala perbuatannya, kemudian menyatakan diri
sebagai pengikut Sunan Pandanaran yang kemudian dibawa oleh Sunan Pandanaran ke
gurunya yaitu Sunan Kalijaga yang akhirnya kepala dia berubah kembali menjadi
kepala manusia seperti semula. Setelah itu Syekh Domba diberi tugas untuk
mengisi tempat wudhu pada padasan atau gentong pada masjid yang berada pada
puncak bukit Jabalkat, Bayat.
Akhirnya Ki Ageng
Pandanaran berhasil sampai dan menetap di Tembayat, yang sekarang bernama
Bayat, dan menyiarkan Islam dari sana kepada para pertapa dan pendeta di
sekitarnya. Karena kesaktiannya ia mampu meyakinkan mereka untuk memeluk agama
Islam. Oleh karena itu ia disebut sebagai Sunan Tembayat atau Sunan Bayat.
Selama di Bayat,
meskipun sudah dikenal sebagai tokoh agama yang disegani, Ki Ageng Pandanaran
terus mendalami ajaran agama islam dibawah bimbingan Sunan Kalijaga.
Lokasi