Gunung Pring Muntilan
ZIARAH KE WILAYAH UTARA
Tujuan :
• Gunung Pring Muntilan :
- Makam KH. Dalhar
- Makam Gus Jogorekso
- Makam Raden Santri
• Santren, Muntilan :
- Makam Wali Putri Nyai.H. Khannah Khananah Dalhar
- Makam KH. Akhmad Abdul Haq ( Mbah Mat )
- Makam Raden Santri II
- Makam KH. Abdul Karim
• Taron, Muntilan :
- Makam Kyai Sahrowardi
Biaya :
Rp. 750.000,-
Biaya per paket sudah termasuk :
• Mobil (12 Jam) Kapasitas 6 orang + 1 Pemimpin
• Driver, Bensin, Parkir
• Retribusi Masuk Lokasi
• Infaq pemandu di lokasi (juru kunci)
Rp. 750.000,-
Biaya per paket sudah termasuk :
• Mobil (12 Jam) Kapasitas 6 orang + 1 Pemimpin
• Driver, Bensin, Parkir
• Retribusi Masuk Lokasi
• Infaq pemandu di lokasi (juru kunci)
Riwayat penyebaran
agama Islam di Magelang Jawa Tengah agaknya berlangsung sejak ratusan tahun
lalu. Sejumlah kisah tentang ulama yang dimakamkan di daerah ini menandakan
Islam telah berkembang pada awal berdirinya Mataram Islam.
Salah satu jejak
yang bisa ditengok saat ini adalah bukit yang terletak tak jauh di Muntilan. Di
atas bukit berketinggian 400 meter di atas permukaan laut itu, terdapat makam
Pangeran Singasari atau dikenal dengan Kiai Raden Santri, seorang ulama yang
hingga kini makamnya ramai didatangi peziarah.
Sesuai kondisinya,
bukit itu bernama Gunungpring. Dalam bahasa Jawa, pring bermakna bambu. Desa
tempat bukit berada pun bernama Gunungpring dan berjarak satu kilometer dari
jalan raya Magelang-Yogyakarta.
Pangeran Singasari
atau Kiai Raden Santri adalah salah satu putra Ki Ageng Pemanahan, pendiri
kerajaan Mataram Islam. Berbeda dengan saudaranya, Panembahan Senopati, yang
meneruskan memimpin kerajaan, Kiai Raden Santri lebih memilih menyebarkan Islam
hingga pelosok daerah di Jawa Tengah.
Menurut Kiai Abdul
Qowaid atau mbah Qowaid, 65 tahun, seorang keturunan Kyai Raden Santri, awalnya
kakek buyutnya itu berkeliling Jawa Tengah untuk menyebarkan Islam sebelum
akhirnya menetap di Gunungpring. “Disini pengikutnya bertambah banyak,” kata
dia pada Tempo, Kamis (26/8) sore.
Untuk mencapai
makam Kiai Raden Santri, peziarah harus menapaki deretan anak tangga sepanjang
setengah kilometer. Di kanan-kiri tangga, berderet kios yang menjajakan aneka
makanan, pakaian, buku doa hingga perlengkapan ibadah. Di bulan Ramadan seperti
saat ini, kios itu memilih tutup meliburkan diri.
Makam itu berada
dalam komplek bangunan pemakaman. Selain terdapat sebuah Musalla yang diberi
nama Pangeran Singasari, dalam cungkup itu pun terdapat makam keturunan Kyai
Raden Santri. Diantaranya adalah Kiai Krapyak III (keturunan ketiga), Kyai Haji
Harun (keturunan keempat) dan Kiai Abdullah Sajad (keturunan kelima).
Adapun Kiai Krapyak
I (keturunan pertama) dimakamkan di Watucongol – berjarak satu kilometer dari
Gunungpring- dan Kiai Krapyak II (keturunan kedua) dimakamkan di Kalibawang
Yogyakarta.
Kiai Abdul Qowaid
mengaku sebagai putera dari Kiai Abdullah Sajad (keturunan kelima). “Saya yang
bungsu,” kata dia.
Di bulan Ramadan
seperti saat ini, banyak orang berdiam di dalam cungkup. Tak jarang, para
peziarah yang datang dari berbagai daerah itu berdiam hingga berbulan-bulan
lamanya. Mereka menghabiskan waktu dengan beribadah, membaca al Quran dan
membaca doa. “Pada malam Jumat jumlahnya lebih banyak lagi,” kata Anwar,
seorang peziarah asal Sleman Yogyakarta.
Lelaki yang telah
berdiam selama sebulan di cungkup itu menuturkan, layaknya makam Wali Songo,
makam Kiai Raden Santri merupakan salah satu makam ulama yang menjadi tujuan
peziarah. Di hari biasa di luar bulan Ramadan, peziarah datang berombongan
dengan menggunakan bus.
Bahkan karena
kedekatan silsilahnya dengan Panembahan Senopati, pada waktu tertentu keluarga
Kraton Yogyakarta juga datang berziarah ke makam itu. Seperti diketahui,
Panembahan Senopati merupakan raja Mataram Islam yang menurunkan keturunan
raja-raja di Kraton Surakarta dan Yogyakrta.
Mbah Qowaid
mengingatkan, meski terbilang putra Ki Ageng Pemanahan dan saudara dari
Panembahan Senopati, namun Kiai Raden Santri telah melepas gelar ningrat yang
disandangnya. Bahkan untuk anak cucunya. Dengan sepenuh hati, Kiai Raden Santri
telah mengabdikan hidupnya untuk penyebaran Islam. “Ah tidak usah, saya ini
orang biasa,” kata dia tertawa saat ditanya gelar ningratnya.