Payaman - Tegalrejo
ZIARAH KE WILAYAH UTARA II
( Payaman - Tegalrejo )
Tujuan :
• Payaman : - Makam Romo Agung KH Sirad, Makam KH. Makhali
• Tegalrejo : - Makam KH. Khudlori
• Grabag : - Makam Sunan Geseng
• Ngadiwongso : - Makam KH. Ahmad
Biaya :
Rp. 750.000,-
Biaya per paket sudah termasuk :
• Mobil (12 Jam) Kapasitas 6 orang + 1 Pemimpin
• Driver, Bensin, Parkir
• Retribusi Masuk Lokasi
• Infaq pemandu di lokasi (juru kunci)
Romo Agung KH. Sirodj
Almarhum KH Anwari Sirajd
dikenal dengan sosoknya yang sederhana, bersahaja dan bijaksana. Penuh dengan
kelembutan serta tutur katanya yang halus merupakan ciri khususnya bila
berhadapan dan memberikan wejangan berupa ceramah dan nasihat kepada ribuan
santrinya di Pondok Sepuh.
Ulama besar ini
konon dikenal dengan kedigdayaan ilmu karomahnya setelah menjalani pendidikan
Islam di Kota Mekkah bersama Almarhum Mbah Dahlar yang merupakan pendiri
sekaligus pimpinan Ponpes Watu Congol, Gunungpring, Muntilan, Magelang dan
Almarhum KH Hasyim Ashari pimpinan Ponpes Tebu Ireng, Jombang.
Usai berguru ilmu
kitab tafsir dan hadis Al Bukhori sohih secara langsung selama tujuh tahun,
ketiga ulama besar itu langsung naik daun. Mereka langsung dikenal sebagai kiai
yang pamornya menggemparkan di seluruh Indonesia, terutama dikalangan pejuang.
Almarhum Kiai
Anwari Sirajd sendiri namanya harum saat era perjuangan melawan kolonial
Belanda. Kedigdayaan ilmu karomah yang dimilikinya dipercaya sebagai senjata
ampuh untuk melawan Belanda, selain itu juga dipercaya dapat mencegah bencana
letusan dan erupsi Gunung Merapi.
Saat itu ia
diberikan gelar kehormatan Romo Agung oleh Belanda, karena berhasil menghalau
awan panas dan lahar erupsi Gunung Merapi yang mengancam wilayah Kota Magelang
yang pada zaman itu menjadi markas dan pusat Pemerintahan Gubernur Belanda.
"Belanda
berikan Gelar Romo Agung dulu saat Merapi meletus. Belanda ingin halau lahar,
minta doa ke Mbah Irsajd, doanya kabul tidak terjang Kota Magelang. Sehingga
kejadian itu dikaitkan dengan rutinitas pembacaan Kitab Bukhori Sokhi yang
dikenal dengan pengajian Sema'an Bukhoren membaca kitab Bukhori yang setiap
Ramadan satu bulan penuh digelar di Masjid Agung, alun-alun Kota Magelang
sampai sekarang," kata KH Mafatikhul Huda, salah seorang cicit Almarhum KH
Anwari Sirajd
Menurutnya,
keampuhan ilmu karomah yang dimiliki Almarhum terbukti saat terjadi agresi
militer Belanda I. Saat itu Masjid Agung Payaman diserang Belanda pada tahun
1948 dengan membabi buta. Belanda selalu mencari sosok KH Sirajd yang dikenal
sebagai pimpinan para santri pejuang.
Pencarian dilakukan
mulai masjid sampai di beberapa kampung di Payaman, Magelang. Namun, hanya
pohon-pohon sekitar yang terbakar karena KH Sirajd dan santri yang sempat
bersembunyi di bawah masjid berhasil melarikan diri ke Desa Canden yang
jaraknya 10 kilometer dari Masjid Agung Payaman, Magelang.
Kemudian, sebelum
Serangan Umum 1 Maret 1949, para santri dibekali oleh bambu runcing sebelum
melakukan penyerangan ke Ambarawa. KH Subkhi pendiri Ponpes Bambu Runcing,
Parakan, Temanggung yang saat itu masih menjadi santri Mbah Sirajd
diperintahkan mencari bambu sebanyak-banyaknya dan diruncingkan untuk menjadi
senjata melawan Belanda dalam Serangan Umum 1 Maret.
"Saat itu Mbah
Sirajd memberikan bambu-bambu itu dengan doa-doa dan membawa kemenangan meski
tentara Belanda memiliki senjata lengkap dan otomatis," kata dia.
KH Subkhi kemudian
memberi nama pondok pesantren yang didirikannya dengan nama Ponpes Bambu
Runcing, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah yang masih berdiri kokoh dan eksis
sampai sekarang. Kini, di Ambarawa berdiri kokoh sebuah monumen sebagai simbol
agresi militer dengan nama Museum Palagan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa
Tengah.
Sunan Geseng
Masyarakat di sekitar makam, banyak
yang meyakini bahwa makam yang ada di puncak bukit tersebut, dengan bangunan
yang berbentuk cungkup, di dalamnya terdapat makam Sunan Geseng. Kendatipun
ditemukan pula makam Sunan Geseng yang lain,yang terletak di dusun Jolosutro,
Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul.
Sunan Geseng,sering disebut pula Eyang Cakra jaya.Beliau menurut riwayat, merupakan murid Sunan Kalijaga. Konon keturunan Imam Jafar ash-Shadiq, yang bernasab: Sunan Geseng bin Husain bin al-Wahdi bin Hasan bin Askar bin Muhammad bin Husein bin Askib bin Muhammad Wahid bin Hasan bin Asir bin ‘Al bin Ahmad bin Mosrir bin jazar bin Musa bin Hajr bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w. Sementara itu, ada sumber yang mengatakan beliau keturunan tiga kerajaan besar di Tanah Jawa, yakni dari Trah Prabu Brawijaya dan Dewi Rengganis, kemudian Pangeran Sumono, Pangeran Kartosuro, Temenggung Wirantoko, Temenggung Wono Joyo, sampai ke Raden Mas Cokro Joyo. Adapun Dewi Rengganis, adalah putri dari P. Darmomoyo, putra Nyai Ageng Bagelan, keturunan trah Mataram Purbo, dan masih keturunan dari Pajajaran.
Menurut hikayat, setelah beliau mengikuti anjuran Sunan Kalijaga agar mengasingkan diri di suatu hutan untuk menjalankan lelaku beribadah kepada Allah. Di tengah-tengah lelakunya tersebut, hutan yang ditempatinya terbakar, tapi beliau tetap melanjutkan lelakunya, sesuai pesan sang Guru untuk jangan memutus ibadah, apapun yang terjadi, sampai akhirnya Sunan Kalijaga datang menjenguknya. Begitulah, ketika kebakaran itu berhenti dan Sunan Kalijaga menjenguknya, didapati Cakrajaya telah menghitam hangus, meskipun tetap sehat wal afiat. Maka beliau diberikan gelar Sunan Geseng.
Sunan Geseng,sering disebut pula Eyang Cakra jaya.Beliau menurut riwayat, merupakan murid Sunan Kalijaga. Konon keturunan Imam Jafar ash-Shadiq, yang bernasab: Sunan Geseng bin Husain bin al-Wahdi bin Hasan bin Askar bin Muhammad bin Husein bin Askib bin Muhammad Wahid bin Hasan bin Asir bin ‘Al bin Ahmad bin Mosrir bin jazar bin Musa bin Hajr bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al Baqir bin Ali Zainal al-Madani bin al-Husain bin al-Imam Ali k.w. Sementara itu, ada sumber yang mengatakan beliau keturunan tiga kerajaan besar di Tanah Jawa, yakni dari Trah Prabu Brawijaya dan Dewi Rengganis, kemudian Pangeran Sumono, Pangeran Kartosuro, Temenggung Wirantoko, Temenggung Wono Joyo, sampai ke Raden Mas Cokro Joyo. Adapun Dewi Rengganis, adalah putri dari P. Darmomoyo, putra Nyai Ageng Bagelan, keturunan trah Mataram Purbo, dan masih keturunan dari Pajajaran.
Menurut hikayat, setelah beliau mengikuti anjuran Sunan Kalijaga agar mengasingkan diri di suatu hutan untuk menjalankan lelaku beribadah kepada Allah. Di tengah-tengah lelakunya tersebut, hutan yang ditempatinya terbakar, tapi beliau tetap melanjutkan lelakunya, sesuai pesan sang Guru untuk jangan memutus ibadah, apapun yang terjadi, sampai akhirnya Sunan Kalijaga datang menjenguknya. Begitulah, ketika kebakaran itu berhenti dan Sunan Kalijaga menjenguknya, didapati Cakrajaya telah menghitam hangus, meskipun tetap sehat wal afiat. Maka beliau diberikan gelar Sunan Geseng.